• Jelajahi

    Copyright © DPP ASTINA - Indonesia
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Analisis TKA 2025

     

    Analisis Mendalam Kebijakan Tes Kemampuan Akademik (TKA): Eksplorasi Naratif Berdasarkan Mandat Resmi Kemendikdasmen

    DPP ASTINA - Agustus 2025

    Era Asesmen Baru: Dekonstruksi Kebijakan TKA

    Implementasi Tes Kemampuan Akademik (TKA) di Indonesia menandai sebuah pergeseran paradigma fundamental dalam filosofi evaluasi pendidikan nasional. Kebijakan ini bukan sekadar penggantian teknis dari instrumen asesmen sebelumnya, melainkan sebuah manuver strategis yang dirancang untuk membongkar warisan Ujian Nasional (UN) yang sarat tekanan dan berisiko tinggi. Selama bertahun-tahun, UN dikritik secara luas karena menciptakan "beban traumatik" dan "tekanan psikologis berlebihan" bagi siswa, serta mendorong budaya pengajaran yang sempit, yang berfokus pada penaklukan soal ujian (teaching-to-the-test) alih-alih pemahaman konsep yang mendalam. Dalam konteks inilah TKA lahir sebagai respons kebijakan yang disengaja, dengan tujuan membangun lanskap asesmen yang lebih holistik, adil, dan berorientasi pada pengembangan kompetensi.  

     

    Dasar hukum kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 9 Tahun 2025, yang secara resmi mengundangkan TKA sebagai standar asesmen baru. Peluncurannya dirancang secara bertahap dan terukur: dimulai pada November 2025 untuk jenjang SMA/SMK dan sederajat, yang kemudian akan diikuti oleh jenjang SD dan SMP pada tahun 2026. Jadwal implementasi yang berjenjang ini mengindikasikan pendekatan pemerintah yang hati-hati dan deliberatif dalam memperkenalkan perubahan berskala nasional.  

     

    Untuk memahami visi, tujuan, dan mekanisme kebijakan ini secara mendalam, analisis ini akan berpusat pada narasi resmi yang disampaikan oleh para arsitek kebijakan itu sendiri. Sumber utama yang menjadi jangkar analisis adalah webinar "Kebijakan Tes Kemampuan Akademik" yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada 11 Juli 2025. Webinar ini menghadirkan para pembuat kebijakan kunci—Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Toni Toharudin, serta Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Asrijanty—yang secara komprehensif memaparkan mandat dan filosofi di balik TKA. Dengan demikian, laporan ini bertujuan untuk mendekonstruksi narasi resmi tersebut guna menyajikan analisis definitif mengenai arsitektur kebijakan TKA dan implikasinya yang luas bagi ekosistem pendidikan Indonesia. 


    Sumber Video Webinar 

     


    Peralihan dari UN ke TKA lebih dari sekadar perubahan teknis; ini adalah sebuah pernyataan politis dan filosofis. Desain TKA yang secara eksplisit bersifat sukarela dan tidak menjadi penentu kelulusan merupakan penolakan langsung terhadap filosofi inti UN yang bersifat wajib dan berkonsekuensi tinggi. Keputusan ini mencerminkan pergeseran definisi keberhasilan pendidikan—dari yang semula berpusat pada skor tunggal yang menentukan menjadi pemahaman yang lebih bernuansa tentang kompetensi siswa dan kualitas sistemik. Langkah ini secara strategis dirancang untuk menjawab keluhan publik yang telah berlangsung lama sekaligus menyelaraskan kerangka asesmen nasional dengan prinsip-prinsip pedagogi modern yang tidak lagi menekankan pada pengujian berisiko tinggi, sejalan dengan rekomendasi dari berbagai lembaga pendidikan global.  

     

    Mandat Resmi: Arahan Kunci dari Webinar Kebijakan TKA Kemendikdasmen

    Webinar kebijakan yang diselenggarakan oleh Kemendikdasmen berfungsi sebagai platform utama untuk mengartikulasikan visi pemerintah mengenai TKA. Analisis terhadap pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para pembuat kebijakan utama memberikan pemahaman yang otentik dan granular mengenai prinsip, fungsi, dan kerangka implementasi TKA.

    2.1 Alasan Perubahan: Bergerak Melampaui Paradigma Berisiko Tinggi

    Rasionalisasi di balik pengenalan TKA berakar pada komitmen pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam webinar tersebut, Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyatakan bahwa penyelenggaraan TKA adalah bagian dari upaya untuk menjawab tantangan kualitas pendidikan yang tecermin dari berbagai hasil tes kemampuan siswa selama ini. Namun, perbaikan ini ditempuh melalui pendekatan yang secara fundamental berbeda dari UN.  

     

    Pernyataan kunci yang mendefinisikan pergeseran ini adalah penegasan Mendikdasmen: “Tidak semua murid wajib mengikuti TKA, dan TKA pun tidak menjadi penentu kelulusan”. Diksi ini secara langsung membedakan TKA dari UN, yang partisipasinya bersifat wajib dan hasilnya menjadi salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan. Dengan menghilangkan konsekuensi kelulusan, pemerintah secara aktif berupaya mengurangi beban psikologis yang selama ini melekat pada asesmen nasional. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa penyusunan kebijakan TKA telah melalui kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk praktisi pendidikan, orang tua, dan akademisi, yang memberinya legitimasi dan dukungan berbasis luas.  

     

    2.2 Prinsip Inti TKA: Sukarela, Objektif, dan Multifungsi

     

    Arsitektur kebijakan TKA dibangun di atas tiga pilar utama yang membedakannya dari sistem asesmen sebelumnya: sifatnya yang sukarela, tujuannya untuk standardisasi yang objektif, dan fungsinya yang ganda.

    Sifat Sukarela dengan Utilitas Tinggi Prinsip utama TKA adalah sifatnya yang "sukarela" atau tidak wajib bagi setiap murid. Kebijakan ini dirancang agar murid yang merasa siap dapat mengikutinya, sementara yang belum siap tidak merasa tertekan. Namun, sifat "sukarela" ini memiliki nuansa yang lebih dalam. Meskipun tidak ada sanksi bagi yang tidak mengikuti, pemerintah secara eksplisit menyarankan agar murid "mempertimbangkan dengan matang sebelum murid memutuskan untuk tidak mengikuti TKA".  

     

     

    Rekomendasi ini didasarkan pada utilitas tinggi dari hasil TKA. Skor TKA dapat digunakan sebagai salah satu syarat untuk berbagai kepentingan seleksi akademik, seperti jalur prestasi untuk masuk perguruan tinggi negeri, beasiswa, atau bahkan rekrutmen kerja. Hal ini menciptakan sebuah dinamika kebijakan yang canggih: sebuah asesmen "berisiko rendah" (tidak menentukan kelulusan) namun "berutilitas tinggi" (sangat berguna untuk seleksi). Struktur insentif ini secara efektif mendorong partisipasi dari siswa-siswa yang ambisius dan berorientasi pada jenjang pendidikan berikutnya, sehingga memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan data asesmen terstandar yang dibutuhkan tanpa harus menerapkan kebijakan wajib yang tidak populer.

     

    Standardisasi Objektif Salah satu tujuan utama TKA adalah untuk mengatasi masalah heterogenitas standar penilaian antar sekolah. Selama ini, "nilai rapor atau ujian internal kerap sulit dibandingkan karena standar yang beragam di tiap sekolah". TKA hadir untuk menyediakan sebuah tolok ukur yang terstandar secara nasional, sehingga dapat "memberikan informasi capaian akademik murid secara objektif dan adil". Dengan demikian, TKA berfungsi sebagai penyeimbang dan penguat kredibilitas penilaian yang dilakukan oleh satuan pendidikan, bukan sebagai penggantinya.  
     

    Fungsionalitas Ganda TKA dirancang untuk melayani dua fungsi strategis secara simultan: untuk kepentingan individu dan untuk kepentingan sistem pendidikan secara keseluruhan.

    1. Bagi Individu: Hasil TKA memberikan umpan balik yang berharga bagi murid mengenai "kekuatan dan kelemahan dalam bidang akademik" mereka. Selain itu, sertifikat hasil TKA menjadi kredensial yang kredibel dan dapat diandalkan untuk keperluan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dunia kerja.  

       

       

    2. Bagi Sistem: Secara agregat, data hasil TKA menjadi sumber informasi yang vital untuk "pemetaan mutu pendidikan" nasional dan menjadi masukan berharga bagi "penyusunan kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan". TKA diharapkan dapat menjadi "cermin hasil belajar" yang memantik perbaikan dalam proses pembelajaran di tingkat satuan pendidikan.  

       

    Untuk memperjelas posisi TKA dalam lanskap asesmen nasional, perbandingan dengan Ujian Nasional (UN) dan Asesmen Nasional (AN) menjadi sangat penting.

    Tabel 1: Analisis Komparatif Asesmen Nasional: TKA vs. UN vs. AN

     

    FiturTes Kemampuan Akademik (TKA)Ujian Nasional (UN)Asesmen Nasional (AN)
    Tujuan UtamaMengukur capaian akademik individu secara objektif untuk keperluan seleksi dan pemetaan mutu.Mengukur capaian akademik individu sebagai salah satu syarat kelulusan.Mengevaluasi mutu sistem pendidikan (input, proses, output) pada level satuan pendidikan dan daerah.
    PartisipasiSukarela (opsional) untuk setiap individu di akhir jenjang.Wajib untuk setiap individu di akhir jenjang.Berbasis sampel (tidak semua murid mengikuti), dipilih secara acak.
    Konsekuensi bagi IndividuTidak menentukan kelulusan. Hasil digunakan untuk seleksi (misal: PTN jalur prestasi), beasiswa, dll.Menjadi salah satu syarat kelulusan dari satuan pendidikan.Tidak ada laporan hasil individu dan tidak ada konsekuensi langsung bagi individu.
    Level PelaporanLaporan hasil individu (setiap peserta menerima skor).Laporan hasil individu.Laporan pada level satuan pendidikan dan daerah (tidak ada skor individu).
    Fokus PengukuranKompetensi mata pelajaran spesifik sesuai kurikulum, dengan penekanan pada penalaran dan pemecahan masalah.Penguasaan materi kurikulum pada mata pelajaran yang diujikan.Literasi, numerasi, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

     Sumber: Disintesis dari data Pusat Asesmen Pendidikan, Kemdikdasmen 

     

    Tabel di atas secara visual menegaskan bahwa TKA bukanlah reinkarnasi dari UN. TKA memiliki tujuan, sifat partisipasi, dan konsekuensi yang berbeda secara fundamental, baik dari UN maupun AN. Ketiganya dirancang untuk saling melengkapi dalam ekosistem asesmen nasional, dengan TKA mengisi ceruk sebagai asesmen individual terstandar yang bersifat opsional.

     

    2.3 Kerangka TKA: Mata Pelajaran, Jadwal, dan Logistik Implementasi 

    Kerangka operasional TKA dirancang untuk selaras dengan kurikulum yang berlaku dan memastikan aksesibilitas bagi seluruh peserta didik.

     

    Kurikulum dan Mata Pelajaran Untuk jenjang SMA/MA/SMK/Paket C, TKA menguji tiga mata pelajaran inti, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris, ditambah dengan dua mata pelajaran pilihan yang dapat dipilih siswa dari daftar yang tersedia (misalnya Fisika, Biologi, Ekonomi, Sejarah). Pilihan ini diharapkan dapat disesuaikan dengan minat dan rencana studi lanjut siswa. Penting untuk dicatat bahwa soal TKA dirancang agar bersifat agnostik terhadap kurikulum; soal dikembangkan dengan mempertimbangkan materi dan kompetensi yang berlaku baik untuk Kurikulum Merdeka maupun Kurikulum 2013, sehingga memastikan keadilan bagi semua peserta.   

     

    Fokus Pedagogis Secara filosofis, TKA dirancang untuk mendorong pembelajaran yang lebih mendalam (deep learning). Asesmen ini tidak berfokus pada literasi dan numerasi umum seperti AN, melainkan pada kompetensi mata pelajaran yang spesifik. Namun, penekanannya bukan pada hafalan fakta, melainkan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebagaimana dinyatakan dalam pedoman resmi, "soal TKA tetap menekankan pada penalaran dan pemecahan masalah". Fokus ini mengirimkan sinyal yang kuat kepada ekosistem pendidikan tentang jenis kompetensi yang dianggap paling berharga.   

     

    Aksesibilitas dan Biaya Salah satu poin kebijakan yang paling krusial adalah aksesibilitas TKA. Pemerintah memastikan bahwa tes ini tidak membebani siswa secara finansial. "Kami pastikan TKA tidak dipungut biaya. Dana pelaksanaan dibebankan kepada anggaran pemerintah," ujar Kepala BSKAP, Toni Toharudin. Kebijakan ini sangat penting untuk memastikan bahwa TKA tidak menjadi penghalang bagi siswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu, sehingga menjaga prinsip keadilan dalam asesmen.  

     

    Kesiapan Satuan Pendidikan Implementasi TKA yang sukses menuntut kesiapan yang matang di tingkat satuan pendidikan. Sekolah diharapkan untuk mengambil langkah-langkah sistematis, antara lain: membentuk tim pelaksana TKA (koordinator, pengawas, proktor, teknisi), melakukan sosialisasi kepada guru, siswa, dan orang tua, memastikan kesiapan infrastruktur (komputer dan jaringan internet), serta memberikan persiapan akademik tambahan bagi siswa melalui program bimbingan atau tryout.  

     

    TKA dan Pendidikan Kesetaraan: Jalur Kritis Menuju Pengakuan dan Ekuitas 

    Salah satu fungsi TKA yang paling transformatif dan signifikan terletak pada perannya dalam sektor pendidikan nonformal, khususnya Pendidikan Kesetaraan (Program Paket A, B, dan C). Bagi peserta didik di jalur ini, TKA bukan sekadar asesmen opsional, melainkan sebuah mekanisme vital untuk validasi, pengakuan formal, dan pada akhirnya, mobilitas sosial. 

     

    3.1 Urgensi TKA bagi Peserta Didik Pendidikan Kesetaraan 

     

    Jika bagi siswa di jalur pendidikan formal TKA bersifat sukarela, bagi peserta didik di jalur nonformal, posisinya menjadi jauh lebih krusial. Pedoman resmi dari Pusat Asesmen Pendidikan menyatakan dengan tegas: "Peserta pendidikan jalur nonformal dan informal yang ingin mendapatkan pengakuan kesetaraan hasil belajar perlu mengikuti TKA".   

     

    Pernyataan kebijakan ini secara efektif mengubah TKA dari pilihan menjadi sebuah kebutuhan esensial bagi lulusan Program Paket. TKA berfungsi sebagai jembatan yang disahkan oleh negara, yang menghubungkan hasil belajar di ranah nonformal dengan pengakuan di dunia formal. Selama ini, lulusan pendidikan kesetaraan sering menghadapi tantangan dalam membuktikan bahwa kualifikasi mereka benar-benar "setara" dengan lulusan sekolah formal saat melamar ke perguruan tinggi atau dunia kerja. TKA hadir untuk mengatasi masalah ini dengan menyediakan sebuah tolok ukur nasional yang objektif. Hasil TKA menjadi bukti empiris bahwa seorang lulusan Paket C, misalnya, memiliki capaian akademik yang terukur dan dapat dibandingkan dengan standar nasional, sehingga memastikan ijazah mereka bukan sekadar simbol, melainkan representasi kompetensi yang valid dan kredibel. Dengan demikian, TKA menjadi instrumen kunci untuk menjamin pemenuhan akses dan penyetaraan hasil belajar bagi peserta didik pendidikan nonformal.   

    3.2 Peran Proaktif Asosiasi Tutor (ASTINA) dalam Menjembatani Kesenjangan Kompetensi

     

    Implementasi TKA di sektor pendidikan kesetaraan tidak dapat berjalan efektif tanpa adanya dukungan dari ekosistem di sekitarnya. Dalam hal ini, Asosiasi Tutor Pendidikan Kesetaraan Nasional (ASTINA) muncul sebagai aktor kunci yang memainkan peran strategis. Berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh ASTINA bukanlah respons yang kebetulan, melainkan langkah-langkah proaktif dan terencana untuk menjawab tuntutan baru yang dihadirkan oleh kebijakan TKA.

     

    Peningkatan Kapasitas Tutor Menyadari bahwa kualitas lulusan sangat bergantung pada kualitas tutor, ASTINA secara intensif berfokus pada peningkatan kapasitas para pendidiknya. Organisasi ini secara rutin menggelar lokakarya yang secara spesifik ditujukan untuk meningkatkan kompetensi tutor dalam "Penyusunan Soal Asesmen pada Pendidikan Kesetaraan". Kegiatan ini, seperti yang diselenggarakan oleh DPW ASTINA Jawa Tengah, bertujuan untuk membekali para tutor dengan keterampilan merancang soal-soal yang berkualitas dan membantu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam membentuk bank soal asesmen. Inisiatif ini merupakan respons langsung terhadap kebutuhan untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi asesmen terstandar seperti TKA.   

     

    Penyelarasan Pedagogis ASTINA juga secara aktif mendorong modernisasi pendekatan pedagogis di kalangan tutor. Organisasi ini mempromosikan konsep-konsep pengajaran kontemporer seperti deep learning melalui seminar nasional, sebagai jawaban atas tantangan pendidikan di era digital. Selain itu, ASTINA menyerukan kepada para tutor untuk beradaptasi dengan Kurikulum Baru (Kurikulum Merdeka), dengan mengubah peran mereka dari sekadar "pengajar" menjadi "fasilitator" atau bahkan "sutradara" pembelajaran yang memantik rasa ingin tahu dan relevansi kontekstual. Upaya ini sangat selaras dengan fokus TKA pada kemampuan penalaran dan pemecahan masalah, yang menuntut pergeseran dari pembelajaran berbasis hafalan ke pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna.   

     

    Advokasi dan Profesionalisasi Peran ASTINA tidak terbatas pada aspek teknis-pedagogis. Organisasi ini juga aktif dalam advokasi untuk profesionalisasi profesi tutor. ASTINA mendorong redefinisi "Guru" dalam Undang-Undang Guru dan Dosen agar mencakup tutor pendidikan kesetaraan, serta memperjuangkan adanya payung hukum yang jelas untuk melindungi tugas, fungsi, dan kesejahteraan mereka. Upaya ini didasari oleh pemahaman bahwa implementasi TKA yang sukses di sektor nonformal sangat bergantung pada keberadaan tenaga pendidik yang kompeten, profesional, dan didukung secara kelembagaan. Kolaborasi ASTINA dengan direktorat di kementerian dan dinas pendidikan di tingkat daerah menunjukkan pendekatan strategis untuk membangun ekosistem yang kondusif.   

     

    Kehadiran TKA secara tidak langsung berfungsi sebagai katalisator yang kuat untuk standardisasi dan profesionalisasi di seluruh sektor pendidikan nonformal. Sebelum TKA, standar kualitas dan asesmen di berbagai PKBM sangat bervariasi. Dengan diperkenalkannya TKA, kini ada satu tolok ukur eksternal yang objektif untuk mengukur output dari semua lembaga pendidikan kesetaraan. Tekanan eksternal ini menciptakan insentif yang kuat bagi PKBM dan para tutor untuk secara kolektif meningkatkan kualitas pengajaran dan penilaian mereka. Kebutuhan kolektif inilah yang kemudian mendorong permintaan akan pelatihan, pengembangan profesional, dan sumber daya bersama. Organisasi seperti ASTINA hadir untuk mengisi kekosongan ini, menyediakan platform untuk pelatihan, berbagi praktik baik, dan membangun komunitas belajar yang solid. Dengan demikian, kebijakan TKA, yang pada awalnya dirancang untuk mengukur capaian siswa, memiliki efek turunan yang mendalam: memicu gerakan dari bawah ke atas menuju penjaminan mutu dan profesionalisme dalam ekosistem pendidikan nonformal.   

    Implikasi Lebih Luas dan Trajektori Masa Depan 

    Sebagai sebuah reformasi kebijakan berskala nasional, TKA memiliki implikasi yang melampaui ruang lingkup teknis asesmen. Keberhasilannya tidak hanya akan mengubah cara siswa dievaluasi, tetapi juga berpotensi mentransformasi praktik pedagogis di kelas dan struktur sistem pendidikan secara keseluruhan. Namun, perjalanan ini juga dihadapkan pada tantangan yang signifikan.

     

    4.1 Peluang dan Tantangan dalam Implementasi Nasional

    Peluang untuk Keadilan dan Transparansi Salah satu potensi terbesar TKA adalah kemampuannya untuk menciptakan sistem seleksi masuk perguruan tinggi yang lebih adil dan transparan. Dengan menyediakan skor terstandar yang objektif, TKA dapat berfungsi sebagai "validator" yang kuat bagi siswa-siswa berprestasi yang berasal dari sekolah-sekolah yang kurang dikenal, yang nilai rapornya mungkin akan dipandang sebelah mata oleh panitia seleksi. Ini membuka peluang bagi mobilitas vertikal yang lebih besar, di mana penerimaan didasarkan pada kompetensi yang terukur, bukan pada reputasi sekolah semata.   

     

    Tantangan Kesenjangan Akses Persiapan Di sisi lain, tantangan terbesar yang membayangi implementasi TKA adalah isu keadilan dalam akses terhadap persiapan. Ada risiko yang signifikan bahwa TKA, alih-alih menjadi alat penyeimbang, justru dapat memperkuat kesenjangan yang sudah ada. Siswa di sekolah-sekolah perkotaan yang memiliki sumber daya melimpah, serta mereka yang mampu mengakses bimbingan belajar atau kursus persiapan TKA komersial , jelas memiliki keunggulan dibandingkan siswa di daerah terpencil atau dari keluarga berpenghasilan rendah yang menghadapi keterbatasan akses terhadap bahan ajar, pelatihan guru, dan infrastruktur.   

    Hal ini menciptakan sebuah ketegangan inheren dalam kebijakan TKA. Di satu sisi, tes ini dirancang untuk menjadi cermin hasil belajar yang objektif. Namun, di sisi lain, performa dalam tes terstandar mana pun merupakan fungsi dari kemampuan dan tingkat persiapan. Ketika "kesempatan untuk bersiap" tidak terdistribusi secara merata, TKA berisiko menjadi cerminan dari akses siswa terhadap sumber daya, bukan semata-mata kemampuan akademik bawaan mereka. Paradoks kebijakan ini menuntut adanya intervensi pemerintah yang kuat dan terarah untuk memastikan adanya dukungan persiapan yang merata bagi semua siswa, terutama mereka yang berada di kelompok rentan. Tanpa upaya serius untuk mengatasi kesenjangan persiapan ini, TKA bisa berakhir menjadi instrumen yang melegitimasi ketidaksetaraan yang sudah ada.   

     

    4.2 TKA sebagai Katalisator Transformasi Pedagogis

    TKA dirancang bukan hanya sebagai alat ukur, tetapi juga sebagai tuas kebijakan (policy lever) yang dimaksudkan untuk memengaruhi praktik di dalam kelas. Dengan secara eksplisit menekankan pada "penalaran", "pemecahan masalah", dan Higher Order Thinking Skills (HOTS) , TKA mengirimkan pesan yang jelas kepada sekolah, guru, dan tutor tentang apa yang dianggap sebagai kompetensi yang paling berharga dalam pendidikan modern.   

     

    Fokus ini sangat selaras dengan filosofi Kurikulum Merdeka, yang juga mengedepankan pembelajaran mendalam (deep learning) dan peran guru sebagai fasilitator pembelajaran yang berpusat pada siswa, bukan lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Dalam konteks ini, TKA dapat dipandang sebagai komponen asesmen yang melengkapi reformasi kurikulum. Keduanya menciptakan sebuah sistem yang koheren, di mana kurikulum, praktik pengajaran, dan sistem penilaian bergerak ke arah yang sama: menuju pembelajaran yang lebih mendalam, bermakna, dan relevan dengan tantangan abad ke-21.   

     

    Kesimpulan: Sintesis Kebijakan TKA sebagai Instrumen Terstandar dengan Ambisi Sistemik

     

    Kebijakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) merepresentasikan sebuah langkah reformasi yang canggih dan berlapis dalam sistem pendidikan Indonesia. Jauh dari sekadar pengganti Ujian Nasional, TKA dirancang sebagai instrumen multifungsi dengan ambisi yang melampaui evaluasi individual untuk menyentuh perbaikan sistemik. 

    Analisis ini menegaskan beberapa karakteristik inti dari kebijakan TKA. Pertama, prinsip partisipasi sukarela yang tidak menentukan kelulusan secara fundamental mengubah dinamika asesmen nasional dari ajang berisiko tinggi menjadi sebuah peluang. Kedua, penyediaan TKA secara gratis oleh pemerintah menjamin aksesibilitas dan menegaskan komitmen pada prinsip keadilan. Ketiga, fungsinya sebagai standar objektif menjawab kebutuhan akan adanya tolok ukur yang adil dan dapat diperbandingkan secara nasional. 

     

    TKA memiliki identitas ganda yang menjadi kekuatannya. Di satu sisi, ia adalah alat untuk membuka peluang individu, memberikan kredensial yang valid bagi semua siswa, dan secara khusus menjadi jembatan pengakuan yang krusial bagi peserta didik dari jalur pendidikan kesetaraan. Di sisi lain, ia adalah mekanisme pengumpulan data yang vital bagi negara untuk melakukan pemetaan mutu dan merumuskan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). 

     

    Pada akhirnya, keberhasilan dan keadilan dari kebijakan TKA tidak hanya akan ditentukan oleh kualitas teknis instrumen tes itu sendiri. Keberhasilannya sangat bergantung pada kekuatan dan inklusivitas seluruh ekosistem pendukungnya. Interaksi simbiosis antara mandat kebijakan dari atas (Kemendikdasmen) dan upaya peningkatan kapasitas dari bawah yang digerakkan oleh organisasi pemangku kepentingan seperti ASTINA menjadi kunci. Kolaborasi yang efektif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan asosiasi profesi bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan sebuah prasyarat mutlak untuk mewujudkan visi TKA sebagai jembatan menuju pendidikan Indonesia yang lebih adil dan bermutu.  (Dirangkum oleh m. kurtubi)

     

     

     

    Terkini

    Tag Terpopuler