• Jelajahi

    Copyright © DPP ASTINA - Indonesia
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Dari Yahukimo hingga Jantung Komunitas: Gema Perjuangan Literasi yang Menginspirasi Keluarga Besar ASTINA

    DPP ASTINA
    26/09/2025, 17:27 WIB Last Updated 2025-09-26T11:14:16Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Jakarta, 26/9 Astina – Panggung Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) 2025 tidak hanya menjadi saksi penganugerahan penghargaan bagi organisasi-organisasi pejuang literasi, termasuk ASTINA yang kita banggakan. Lebih dari itu, sebuah sesi dialog yang mendalam telah memberikan suntikan energi dan inspirasi luar biasa bagi kami, para anggota Asosiasi Tutor Pendidikan Kesetaraan Nasional (ASTINA), yang menyimaknya dengan saksama.

    Jakarta – Dalam kemeriahan Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) 2025, di antara seremoni dan tepuk tangan, ada satu sesi yang hening namun bergema kuat di hati kami, para anggota ASTINA. Sesi dialog itu bukan sekadar diskusi, melainkan sebuah panggung di mana kisah-kisah perjuangan dari seluruh penjuru negeri dituturkan dengan jujur dan penuh semangat. Bagi kami, para tutor pendidikan kesetaraan, mendengarkan setiap detailnya serasa menemukan kepingan cerita kami sendiri, yang ditegaskan dan divalidasi di tingkat nasional.

    ​Ini bukan lagi sekadar berita, ini adalah energi baru. Sebuah pengingat mendalam tentang mengapa kita memilih jalan sunyi ini, dan betapa berartinya setiap langkah yang kita ambil.

    Operasi Hening di Pedalaman Yahukimo: Kisah Seorang Bupati

    Fokus utama tertuju pada Bapak Didimus Yahuli, Bupati Yahukimo. Sebelum menjadi bupati, beliau telah empat periode menjadi anggota DPR daerah, memberinya pemahaman mendalam tentang luka pendidikan di tanahnya. Saat akhirnya memimpin, ia dihadapkan pada sebuah tragedi senyap: sebuah "generasi yang hilang" (lost generation). Ia melukiskan gambaran suram di mana selama 15 hingga 20 tahun, anak-anak sama sekali tidak terdidik. "Rumput lebih tinggi daripada gedung sekolah, dan guru-guru tidak ada di tempat," ujarnya, sebuah kalimat yang menusuk bagi siapa pun yang berkecimpung di dunia pendidikan.


    ​Menghadapi situasi ini, Pak Didimus tidak memilih jalan biasa. Ia melancarkan sebuah "operasi ekstrem" untuk memutus mata rantai masalah. Sadar bahwa sistem yang ada telah gagal, ia mengambil langkah radikal. Guru-guru lama yang sudah terbukti tidak efektif tidak ia pecat, namun perannya dihentikan. "Insentif kamu terima, BOS kamu terima, dan semua jalan, tapi kamu tidak boleh mengajar," begitu strateginya. Ini dilakukan agar kurikulum baru yang segar, Kurikulum Merdeka Belajar, bisa diimplementasikan tanpa gangguan.


    ​Sebagai gantinya, ia membuka pintu lebar-lebar bagi para mitra. Yayasan Seraphim, Jalin, hingga YASUMAT digandeng untuk merekrut pasukan pendidik baru yang ditempatkan di 36 dari 51 kecamatan. Tujuannya sangat membumi. Bukan untuk mengejar nilai ujian, melainkan agar para pemuda yang usianya sudah tak lagi muda dan malu kembali ke bangku SD, "minimal mereka tahu baca, tahu tulis, dan tahu hitung". 


    Dengan kemampuan dasar itu, harapannya mereka bisa mandiri, menjadi tukang kayu, atau membuka usaha sendiri. "Kita memanusiakan manusia untuk masa depan Indonesia," pungkasnya, sebuah filosofi yang menjadi inti dari pendidikan kesetaraan.


    DNA Gerakan di Lapangan: Strategi Jitu dari Komunitas

    ​Jika kisah dari Yahukimo adalah tentang terobosan kepemimpinan, maka cerita dari Bapak Tuppu Bulu Alam (Forum Komunikasi PKBM) dan Bapak Eko Adi Saputra (IPABI) adalah tentang DNA gerakan di akar rumput.


    ​Bapak Tuppu menekankan sebuah pilihan kata yang penting: "penuntasan," bukan "pemberantasan" buta aksara. Ini menyiratkan sebuah proses yang lebih sistematis dan holistik. Praktik terbaik di PKBM, jelasnya, adalah mengintegrasikan literasi ke dalam kehidupan nyata. 


    Warga belajar tidak duduk diam menghafal huruf, mereka belajar sambil praktik membuat penganan, mengolah sampah plastik menjadi kerajinan, atau merajut. Semua keterampilan itu relevan dengan potensi ekonomi lokal mereka, menjadikan aksara sebagai alat, bukan tujuan akhir.


    ​Sementara itu, Bapak Eko dari Ikatan Pamong Belajar Indonesia (IPABI) memaparkan kerangka kerja yang terstruktur, yang pasti sangat akrab bagi para tutor ASTINA. Semuanya dimulai dari identifikasi kebutuhan belajar masyarakat. Kemudian, merancang program yang kontekstual, bukan program "satu untuk semua". Lalu, tahap fasilitasi, di mana ia mengakui, "Kami tidak bisa sendirian." Di sinilah kemitraan dengan PKBM dan para tutor (seperti anggota ASTINA) menjadi vital.


    ​Yang terpenting, tegasnya, adalah tahap keempat: pendampingan pasca-program. Ini adalah komitmen jangka panjang untuk memastikan warga belajar "tidak lagi kembali ke buta aksara". Upaya ini diperkuat dengan pendekatan "kulonuwun" atau bersinergi dengan tokoh-tokoh lokal, mulai dari kepala desa, RT/RW, hingga ibu-ibu PKK yang antusiasmenya luar biasa.


    Refleksi dan Energi Baru untuk Keluarga Besar ASTINA


    ​Mendengarkan detail perjuangan ini, kami, keluarga besar ASTINA, menemukan validasi yang luar biasa. Kisah Bupati Yahukimo adalah cerminan dari tantangan terbesar yang kita hadapi di daerah-daerah paling sulit. Strategi yang dipaparkan oleh rekan-rekan dari PKBM dan IPABI adalah napas dari pekerjaan kita sehari-hari.


    ​Dialog ini menegaskan bahwa kita tidak berjalan sendiri. Setiap upaya kita untuk merangkul satu warga belajar, setiap jam yang kita habiskan untuk merancang pembelajaran yang menarik, setiap kemitraan yang kita jalin dengan komunitas, adalah bagian dari sebuah mozaik perjuangan nasional.


    Kita adalah para pahlawan aksara di garda terdepan. Mari kita bawa gema semangat dari panggung HAI 2025 ini kembali ke komunitas kita masing-masing, dengan energi yang baru dan keyakinan yang semakin kokoh untuk menuntaskan perjuangan ini, hingga tak ada satu pun orang Indonesia yang tertinggal dalam kegelapan. (DPP Astina)


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Tag Terpopuler