Buat para guru Pendidikan Kesetaraan, siap-siap upgrade cara kita mengajar.
Ini dia 'senjata rahasia' untuk memastikan siswa nggak cuma hafal materi, tapi benar-benar paham. Namanya Taksonomi SOLO. Kerangka yang dikembangkan Biggs dan Collis (1982) ini bukan sekadar teori, tapi panduan praktis untuk melihat seberapa dalam pemahaman siswa kita. Dengan SOLO, kita bisa fokus pada proses berpikir yang jauh lebih penting daripada sekadar konten. Penasaran? Mari kita selami lebih dalam penjelasan, contoh, dan referensi akademiknya.
1. Konsep Dasar Taksonomi SOLO
Taksonomi SOLO mengkategorikan pemahaman siswa ke dalam lima level hierarkis, dari yang paling sederhana hingga paling kompleks:
Level SOLO | Karakteristik | Indikator |
---|---|---|
Prestruktural | Tidak memahami konsep | Jawaban tidak relevan, acak, atau kosong |
Unistruktural | Pemahaman tunggal, terisolasi | Mengidentifikasi satu aspek, tanpa koneksi |
Multistruktural | Beberapa ide terpisah | Daftar fakta tanpa integrasi |
Relasional | Ide terhubung secara logis | Membuat hubungan, menjelaskan sebab-akibat |
Extended Abstract | Generalisasi ke konteks baru | Berpikir abstrak, menerapkan di situasi baru |
(Biggs & Tang, 2011, hal. 87)
2. Aplikasi dalam Pendidikan Kesetaraan
Pendidikan kesetaraan (Paket A/B/C) sering menghadapi peserta dengan latarbelakang beragam. SOLO membantu guru merancang pembelajaran yang bermakna dan berjenjang.
Contoh Penerapan dalam Mata Pelajaran IPS (Sejarah)
Pertanyaan: "Jelaskan dampak Revolusi Industri di Eropa!"
Prestruktural: "Revolusi Industri itu ada di Inggris." (tidak menjawab pertanyaan)
Unistruktural: "Revolusi Industri menyebabkan mesin uap ditemukan." (satu fakta)
Multistruktural: "Revolusi Industri menyebabkan mesin uap, urbanisasi, dan pabrik." (beberapa fakta terpisah)
Relasional: "Revolusi Industri memicu urbanisasi karena pabrik butuh buruh, sehingga masyarakat agraris beralih ke industri." (hubungan sebab-akibat)
Extended Abstract: "Revolusi Industri tidak hanya mengubah ekonomi Eropa, tetapi juga memicu kolonialisme untuk mencari bahan baku, yang akhirnya mempengaruhi Asia dan Afrika." (generalisasi ke konteks global)
(Adaptasi dari Hook, 2015, hal. 42)
3. SOLO untuk Deep Learning
Deep learning menekankan pemahaman konseptual, bukan hafalan. SOLO cocok karena:
Mendorong Higher-Order Thinking (HOTS) – Level Relasional dan Extended Abstract setara dengan analisis, evaluasi, dan kreasi dalam Taksonomi Bloom.
Memberi Umpan Balik Spesifik – Guru bisa melihat di level mana siswa stuck dan merancang scaffolding.
Fleksibel untuk Berbagai Subjek – Bisa dipakai di matematika (pemecahan masalah), sains (eksperimen), atau seni (interpretasi).
Contoh Scaffolding:
Jika siswa hanya mencapai Multistruktural, guru bisa memberi pertanyaan lanjutan: "Bagaimana hubungan antara penemuan mesin uap dan perubahan sosial di kota?"
(Hattie, 2012, "Visible Learning for Teachers")
4. Perbandingan dengan Taksonomi Bloom
Aspek | Taksonomi Bloom | Taksonomi SOLO |
---|---|---|
Fokus | Kognitif (hapalan hingga kreasi) | Struktur pemahaman (sederhana ke kompleks) |
Aplikasi | Merancang tujuan pembelajaran | Mengevaluasi kualitas jawaban siswa |
Kelebihan | Terstruktur untuk perencanaan kurikulum | Lebih deskriptif untuk asesmen formatif |
(Biggs & Tang, 2011)
5. Strategi Implementasi untuk Guru
Rancang Pertanyaan Berjenjang
Gunakan kata kunci SOLO:
Unistruktural: Sebutkan, identifikasi
Multistruktural: Daftarkan, urutkan
Relasional: Bandingkan, jelaskan mengapa
Extended Abstract: Bagaimana jika..., prediksikan
Berikan Rubrik SOLO
Contoh rubrik menulis:Prestruktural: Tulisan tidak terkait topik.
Unistruktural: Menyebut satu argumen tanpa bukti.
Multistruktural: Menyebut beberapa argumen terpisah.
Relasional: Argumen saling terkait dengan contoh.
Extended Abstract: Argumen + implikasi ke kehidupan nyata.
Gunakan SOLO untuk Feedback
Alih-alih mengatakan "kurang mendalam", guru bisa memberi arahan: "Coba hubungkan faktor ekonomi dan politik dalam jawabanmu."
(Pam Hook, "SOLO Taxonomy: A Guide for Schools", 2015)
6. Referensi Akademik
Biggs, J., & Collis, K. (1982). Evaluating the Quality of Learning: The SOLO Taxonomy. Academic Press.
Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for Quality Learning at University. McGraw-Hill.
Hattie, J. (2012). Visible Learning for Teachers. Routledge.
Hook, P. (2015). SOLO Taxonomy in the Classroom. Essential Resources.
Kesimpulan
Taksonomi SOLO adalah alat powerful untuk:
Mengevaluasi kedalaman pemahaman siswa.
Merancang pembelajaran berdiferensiasi.
Mendorong deep learning melalui pertanyaan kritis.
Guru pendidikan kesetaraan bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas respon siswa, terutama dalam konteks pembelajaran mandiri dan proyek berbasis masalah.
"SOLO bukan tentang seberapa banyak siswa tahu, tapi seberapa dalam mereka memahaminya." — John Biggs