Di tengah maraknya demonstrasi yang dilakukan warga karena kekecewaan terhadap para pemangku kebijakan, kita diingatkan kembali bahwa persoalan empati dan kepedulian bukan hanya urusan moral pribadi, melainkan juga landasan kehidupan berbangsa. Demonstrasi adalah tanda bahwa suara warga tidak didengar, bahwa penderitaan tidak dihiraukan, dan bahwa jarak antara pengambil kebijakan dan rakyat semakin lebar. Kondisi ini menyodorkan pelajaran penting bahwa bila kita ingin masa depan bangsa ini lebih berkeadaban, maka empati dan sikap peduli harus ditanamkan sejak dini, antara lain melalui jalur pendidikan.
Dalam konteks pendidikan kesetaraan, Muatan Pemberdayaan memiliki peran strategis karena secara eksplisit menekankan penguatan kesadaran diri, harga diri, kepercayaan diri, partisipasi aktif, dan akses dalam pengambilan keputusan. Dari kelima elemen ini, partisipasi aktif merupakan elemen yang paling potensial untuk menanamkan rasa empati dan kepedulian. Partisipasi aktif mengajak murid untuk tidak berhenti pada kesadaran personal, melainkan melibatkan diri secara nyata dalam kehidupan bersama. Melalui keterlibatan yang konsisten dalam kerja kelompok, musyawarah, aksi sosial, dan kegiatan kolaboratif, murid belajar menunda egonya, mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan menyadari bahwa keberadaannya bermakna ketika hadir bagi sesama.
Jika elemen partisipasi aktif dijadikan titik tekan dalam proses pembelajaran, maka murid akan terbiasa mengalami langsung bagaimana rasanya mendengar keluhan, berbagi tanggung jawab, serta merasakan akibat dari keputusan yang diambil secara kolektif. Pendidik dalam hal ini menjadi fasilitator yang memastikan setiap murid tidak hanya mengerti apa itu peduli, tetapi juga menjalani pengalaman kepedulian. Kegiatan belajar tidak lagi berhenti pada ruang kelas, tetapi menyentuh kehidupan nyata, misalnya dengan tindakan membersihkan lingkungan, merancang kegiatan sosial, mendampingi teman yang kesulitan, atau terlibat dalam musyawarah komunitas. Semua itu memberi pelajaran hidup yang tidak tertulis, namun membentuk watak dasar untuk menjadi warga yang empatik.
Upaya ini sejalan dengan arah Profil Lulusan yang ditetapkan dalam Permendikdasmen Nomor 10 Tahun 2025. Profil "kewargaan" mengarahkan murid agar tumbuh sebagai pribadi yang memahami hak dan kewajiban, serta peduli terhadap keberlangsungan hidup bersama. Dengan dibiasakan berpartisipasi aktif, murid tidak hanya akan menjadi warga yang patuh aturan, tetapi juga kritis terhadap ketidakadilan yang menimpa lingkungannya, tanpa harus kehilangan sikap santun dalam menyuarakan aspirasi. Profil "kolaborasi" menuntun murid untuk bekerja sama dengan orang lain, saling menghargai perbedaan, dan merajut solidaritas yang nyata. Empati tidak bisa lahir dalam ruang individualisme; ia tumbuh subur dalam ruang kebersamaan yang dilatih secara konsisten. Sementara itu, profil
"penalaran kritis" memperlengkapi murid dengan kemampuan menganalisis persoalan, menimbang sebab-akibat, serta mencari solusi tanpa tergesa-gesa larut dalam amarah. Dengan demikian, murid tidak hanya peka terhadap penderitaan orang lain, tetapi juga terampil mencari jalan keluar yang rasional dan bermartabat.
Jika pendidikan kesetaraan benar-benar menempatkan partisipasi aktif sebagai sarana membangun empati, maka murid akan tumbuh menjadi generasi yang berbeda dengan potret elit politik yang kerap dikritik masyarakat saat ini. Mereka tidak akan memandang suara rakyat sebagai beban, melainkan sebagai amanah; tidak menutup telinga terhadap keluhan warga, melainkan membuka hati untuk memahami; tidak memutuskan sesuatu semata karena kepentingan kelompoknya, melainkan menimbang kepentingan bersama secara adil. Dengan kata lain, pembelajaran empati melalui partisipasi aktif adalah investasi untuk membentuk warga negara yang mampu menjembatani jurang antara kekuasaan dan kebutuhan rakyat.
Demonstrasi yang marak di berbagai daerah sebenarnya adalah alarm sosial yang menegaskan lemahnya kepekaan pada tingkat elite. Pendidikan kesetaraan, melalui Muatan Pemberdayaan yang berorientasi pada empati, dapat menjadi jawaban jangka panjang agar murid yang hari ini belajar, kelak ketika dewasa, tumbuh sebagai warga yang peduli, mampu berkolaborasi, dan kritis dalam menyikapi persoalan. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi penonton dari dinamika bangsa, melainkan penggerak yang membawa nilai-nilai kepedulian ke ruang publik.
Jombang, 1 September 2025
Astatik Bestari
Partisipasi Murid sebagai Benih Kepedulian
Menanam Empati Melalui Pendidikan untuk Masa Depan Bangsa yang Berkeadaban
Di tengah maraknya demonstrasi karena kekecewaan terhadap pemangku kebijakan, kita diingatkan kembali bahwa persoalan empati dan kepedulian bukan hanya urusan moral pribadi, melainkan juga landasan kehidupan berbangsa.
"Demonstrasi adalah tanda bahwa suara warga tidak didengar, bahwa penderitaan tidak dihiraukan, dan bahwa jarak antara pengambil kebijakan dan rakyat semakin lebar."
Kondisi ini menyodorkan pelajaran penting bahwa bila kita ingin masa depan bangsa ini lebih berkeadaban, maka empati dan sikap peduli harus ditanamkan sejak dini, antara lain melalui jalur pendidikan.
Dalam konteks pendidikan kesetaraan, Muatan Pemberdayaan memiliki peran strategis karena secara eksplisit menekankan penguatan kesadaran diri, harga diri, kepercayaan diri, partisipasi aktif, dan akses dalam pengambilan keputusan. Dari kelima elemen ini, partisipasi aktif merupakan elemen yang paling potensial untuk menanamkan rasa empati dan kepedulian.
"Partisipasi aktif mengajak murid untuk tidak berhenti pada kesadaran personal, melainkan melibatkan diri secara nyata dalam kehidupan bersama."
Melalui keterlibatan yang konsisten dalam kerja kelompok, musyawarah, dan aksi sosial, murid belajar menunda egonya, mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan menyadari bahwa keberadaannya bermakna ketika hadir bagi sesama. Pendidik menjadi fasilitator yang memastikan setiap murid tidak hanya mengerti apa itu peduli, tetapi juga menjalani pengalaman kepedulian.
Kegiatan belajar tidak lagi berhenti di ruang kelas, tetapi menyentuh kehidupan nyata.
Sejalan dengan Profil Lulusan 2025
Upaya ini selaras dengan tiga pilar utama dalam Profil Lulusan yang ditetapkan pemerintah, yaitu kewargaan, kolaborasi, dan penalaran kritis.
Kewargaan
Memahami hak & kewajiban, serta peduli terhadap keberlangsungan hidup bersama. Murid menjadi kritis namun tetap santun.
Kolaborasi
Bekerja sama, menghargai perbedaan, dan merajut solidaritas. Empati tumbuh subur dalam ruang kebersamaan.
Penalaran Kritis
Menganalisis persoalan dan mencari solusi rasional, tanpa larut dalam amarah. Peka sekaligus terampil.
"Empati tidak bisa lahir dalam ruang individualisme; ia tumbuh subur dalam ruang kebersamaan yang dilatih secara konsisten."
Jika pendidikan kesetaraan menempatkan partisipasi aktif sebagai sarana membangun empati, maka murid akan tumbuh menjadi generasi yang berbeda. Mereka tidak akan memandang suara rakyat sebagai beban, melainkan amanah; tidak menutup telinga terhadap keluhan, melainkan membuka hati untuk memahami. Pembelajaran empati adalah investasi untuk membentuk warga negara yang mampu menjembatani jurang antara kekuasaan dan kebutuhan rakyat.
Demonstrasi yang marak adalah alarm sosial. Pendidikan kesetaraan, melalui Muatan Pemberdayaan yang berorientasi pada empati, dapat menjadi jawaban jangka panjang agar murid hari ini tumbuh sebagai warga yang peduli, kolaboratif, dan kritis. Mereka tidak hanya menjadi penonton, melainkan penggerak yang membawa nilai-nilai kepedulian ke ruang publik.